Timur Sinar Suprabana:
kota lintangpukang
inilah kota lintangpukang, saudara.
kota di mana kabel listrik dan kabel telepon terentang centangperentang tak kenal karuan.
menerobos daun, dahan dan ranting pohon-pohon yang batangnya
jadi tempat memakukan iklan panti pijat dan seruan sia-sia
yang meneriakkan perlunya tak henti menciptakan kerukunan antar umat beragama,
meski padahal terdapat silang sengketa di antara mereka.
mengapa iklan panti pijat bertebaran di penjuru kota?
apakah orang-orang di kota ini lebih banyak yang letih dan kecapekan
ketimbang mereka yang segar dan tahu jalan mewujudkan harapan?
mengapa jumlah selebaran seruan menciptakan kerukunan antar umat beragama
lebih banyak dibanding informasi ketersediaan lapangan kerja?
inilah kota lintangpukang, saudara.
kota di mana kepala daerahnya menganggap keindahan kota lebih utama
dibanding kegigihan orang-orang pinggiran
dalam menempuh upaya menafkahi istri dan anak-anaknya.
kota di mana para pedagang kaki lima tak henti jadi sasaran tembak
untuk terus diopyak-opyak.
kota di mana para tukang becak dioyak-oyak
dan diguwak ke tempat jin buang anak.
kota di mana polisi seenaknya membangun pos pengatur lalulintas di trotoar.
kota di mana baliho-baliho berukuran besar terpancang tanpa perhitungan matang
dan konon tidak pula membayar pajak dalam jumlah yang benar.
kota di mana pasar tradisional-pasar tradisionalnya gampang terbakar,
kota di mana super market-super market dan mall-mall serta hotel-hotel
dan pabrik-pabrik berlomba mencuri listrik.
kota di mana lengkong, gang, bahkan jalan raya utama kota
jadi sarang kasak-kusuk ketidakpuasan yang tak pernah menghasilkan apa-apa
selain pandang mata tanpa kepastian dan tegur sapa penuh kecurigaan.
inilah kota lintangpukang, saudara.
kota yang diriuhi 6.000 lebih anak jalanan dan 9.000 lebih anak putus sekolah.
kota yang menyimpan sekurang-kurangnya 47 perempuan remaja
yang pernah menjadi korban tindak kekerasan seksual oleh ayah atau pamannya sendiri.
kota yang jumlah pelacurnya nyaris berimbang dengan jumlah total jadual pengajian,
biston rumah tangga, ataupun jumlah ragam kebaktian dan misa-misa di gereja-gereja
dengan papan nama yang sejak menjelang senja sampai jam enam pagi
disorot lampu seribu watt.
ya,
inilah kota lintangpukang, saudara.
kota yang memiliki hampir segala.
kecuali yang berkaitpaut dengan kemesraan, kasihsayang dan Cinta
yang memungkinkan kita berbagi senyum dan pandang mata.
semarang. mei 2008.
Timur Sinar Suprabana:
sajak dari punggung bukit
dari punggung bukit di mana ketika itu aku berdiri dalam kegamangan
sembari mengenangkan engkau, o, yang makin berjarak dengan ingatan:
aku menyaksikan lingir langit berhimpit dengan akhir hamparan laut
yang kian menjauhkanku dari kemungkinan kembali berpaut.
barangkali itulah sebab mengapa aku seperti mengapung dan melayang
sebagai rasa bimbang yang kehilangan pegangan dan jalan terang.
mungkin benar, sebaiknya mulai sekarang kuklikop saja ingatan tentangmu
dan tak usah menjaga hurufhuruf yang selalu kupakai menuliskan namamu.
barangkali betul mesti begini: berkemas, pergi, menumpas segala peduli
meski hidup bakal pasi, basi dan tiada pernah lagi mencecap manis gelali.
seperti kesunyian ruang berudara kosong, berdebu, penuh bercak di dinding
di mana dulu kita melekapkan berkasberkas rencana dan harapan tak berdaging.
kekasihku, tanah air hatiku, tumpah darah kalbuku, pautan tulangtulang igaku
mengapa engkau kini menjadi muasal kemeranaan yang menestapakan hidupku?
aku merana kerna Cinta terbuktikan melalui ibu yang meracun anak-anaknya,
aku menestapa kerna makin banyak yang kehilangan keteguhan akal sehatnya,
aku merana dan menestapa kerna harapan kian kehilangan daya juang
dan juga kerna berbilang orang tak lagi punya peluang selain jadi pecundang.
kekasihku, tanah air hatiku, tumpah darah kalbuku, pautan tulangtulang igaku
mengapa engkau mempedayaiku lewat mitosmitos yang berumah di masa lalu?
mengapa engkau menipuku dengan undangundang, kepres dan perda
yang ternyata tak membuktikan apaapa dan tiada mengajak tiba ke manamana?
apakah kamu telah menjadi padang pembiakan yang melahirkan para pembual, makelar,
germo, penipu, maling, pemalsu, gangsir, begal dan tukang jagal?
kerna kamu selalu membisu dan meludahkan pertanyaanpertanyaanku
maka dengan sedihpilu dan tersedu kuputuskan menglikop kamu dari ingatanku
dan menghapusmu dari garismaris yang terpeta di telapaktanganku.
semarang. mei 2008
Timur Sinar Suprabana:
kota morgana
:hamidah!
hai, hamidah!
menjelang senja.
setidaknya kusangka bahwa aku sedang sudah tiba di menjelang senja.
mendadak engkau, perempuan yang meruang di sela jeda degab jantungku,
membayang ke segala mana aku mengarahkan pandang mataku.
maka tiap penjuru menjadi kamu. menjadi rindu.
menjadi candu yang bikin ungu warna jiwaku yang menyayangimu.
aku sedang di pantai kotamu. mengajak angin berbincang mengenaimu,
kerna tak ada orang yang mau bercakap tentang harapan
dan pemikiran yang berkilat tajam tiap kamu
berbicara soal perlunya orang memandang orang
harus sebagai sesama insan. tak terkecuali bagaimana seharusnya lelaki
bersikap terhadap perempuan.
“insan tak mengenal aniaya dan tipudaya,” katamu.
“insan selalu menemu jalan untuk mewujudkan harapan.
kerna insan senantiasa bisa menaklukkan rasa putus asa.”
ah, angin datang pergi pulang. laut di sesudah pantai sedang tenang.
permukaannya yang datar justru terasa menggelisahkan.
dalam rasa bimbang yang tak lagi menggelombang
aku melihat aniaya dan tipu daya jadi wajah hampir segala.
bahkan sekalipun dalam angan
tak lagi ada bayang jalan untuk mewujudkan harapan.
di permukaan laut yang tenang aku juga menyaksikan
bagaimana mula rasa putus asa
beranakpinak dan merajalela. jadi borok dan koreng,
nyemumuh dan mlonyoh mensekujuri badan, tubuh dan diri.
aku tersedu. mengapa tak lagi ada Kalbu di tiap mata yang memandangmu?
tegal. mei 2008.