Selasa, 13 Mei 2008

kutulis dengan nyaris berlinang airmata



Timur Sinar Suprabana:


kota lintangpukang


inilah kota lintangpukang, saudara.

kota di mana kabel listrik dan kabel telepon terentang centangperentang tak kenal karuan.

menerobos daun, dahan dan ranting pohon-pohon yang batangnya

jadi tempat memakukan iklan panti pijat dan seruan sia-sia

yang meneriakkan perlunya tak henti menciptakan kerukunan antar umat beragama,

meski padahal terdapat silang sengketa di antara mereka.


mengapa iklan panti pijat bertebaran di penjuru kota?

apakah orang-orang di kota ini lebih banyak yang letih dan kecapekan

ketimbang mereka yang segar dan tahu jalan mewujudkan harapan?

mengapa jumlah selebaran seruan menciptakan kerukunan antar umat beragama

lebih banyak dibanding informasi ketersediaan lapangan kerja?


inilah kota lintangpukang, saudara.

kota di mana kepala daerahnya menganggap keindahan kota lebih utama

dibanding kegigihan orang-orang pinggiran

dalam menempuh upaya menafkahi istri dan anak-anaknya.

kota di mana para pedagang kaki lima tak henti jadi sasaran tembak

untuk terus diopyak-opyak.

kota di mana para tukang becak dioyak-oyak

dan diguwak ke tempat jin buang anak.

kota di mana polisi seenaknya membangun pos pengatur lalulintas di trotoar.

kota di mana baliho-baliho berukuran besar terpancang tanpa perhitungan matang

dan konon tidak pula membayar pajak dalam jumlah yang benar.

kota di mana pasar tradisional-pasar tradisionalnya gampang terbakar,

kota di mana super market-super market dan mall-mall serta hotel-hotel

dan pabrik-pabrik berlomba mencuri listrik.

kota di mana lengkong, gang, bahkan jalan raya utama kota

jadi sarang kasak-kusuk ketidakpuasan yang tak pernah menghasilkan apa-apa

selain pandang mata tanpa kepastian dan tegur sapa penuh kecurigaan.


inilah kota lintangpukang, saudara.

kota yang diriuhi 6.000 lebih anak jalanan dan 9.000 lebih anak putus sekolah.

kota yang menyimpan sekurang-kurangnya 47 perempuan remaja

yang pernah menjadi korban tindak kekerasan seksual oleh ayah atau pamannya sendiri.

kota yang jumlah pelacurnya nyaris berimbang dengan jumlah total jadual pengajian,

biston rumah tangga, ataupun jumlah ragam kebaktian dan misa-misa di gereja-gereja

dengan papan nama yang sejak menjelang senja sampai jam enam pagi

disorot lampu seribu watt.


ya,

inilah kota lintangpukang, saudara.

kota yang memiliki hampir segala.

kecuali yang berkaitpaut dengan kemesraan, kasihsayang dan Cinta

yang memungkinkan kita berbagi senyum dan pandang mata.


semarang. mei 2008.



Timur Sinar Suprabana:


sajak dari punggung bukit


dari punggung bukit di mana ketika itu aku berdiri dalam kegamangan

sembari mengenangkan engkau, o, yang makin berjarak dengan ingatan:

aku menyaksikan lingir langit berhimpit dengan akhir hamparan laut

yang kian menjauhkanku dari kemungkinan kembali berpaut.

barangkali itulah sebab mengapa aku seperti mengapung dan melayang

sebagai rasa bimbang yang kehilangan pegangan dan jalan terang.


mungkin benar, sebaiknya mulai sekarang kuklikop saja ingatan tentangmu

dan tak usah menjaga hurufhuruf yang selalu kupakai menuliskan namamu.

barangkali betul mesti begini: berkemas, pergi, menumpas segala peduli

meski hidup bakal pasi, basi dan tiada pernah lagi mencecap manis gelali.

seperti kesunyian ruang berudara kosong, berdebu, penuh bercak di dinding

di mana dulu kita melekapkan berkasberkas rencana dan harapan tak berdaging.


kekasihku, tanah air hatiku, tumpah darah kalbuku, pautan tulangtulang igaku

mengapa engkau kini menjadi muasal kemeranaan yang menestapakan hidupku?

aku merana kerna Cinta terbuktikan melalui ibu yang meracun anak-anaknya,

aku menestapa kerna makin banyak yang kehilangan keteguhan akal sehatnya,

aku merana dan menestapa kerna harapan kian kehilangan daya juang

dan juga kerna berbilang orang tak lagi punya peluang selain jadi pecundang.


kekasihku, tanah air hatiku, tumpah darah kalbuku, pautan tulangtulang igaku

mengapa engkau mempedayaiku lewat mitosmitos yang berumah di masa lalu?

mengapa engkau menipuku dengan undangundang, kepres dan perda

yang ternyata tak membuktikan apaapa dan tiada mengajak tiba ke manamana?

apakah kamu telah menjadi padang pembiakan yang melahirkan para pembual, makelar,

germo, penipu, maling, pemalsu, gangsir, begal dan tukang jagal?


kerna kamu selalu membisu dan meludahkan pertanyaanpertanyaanku

maka dengan sedihpilu dan tersedu kuputuskan menglikop kamu dari ingatanku

dan menghapusmu dari garismaris yang terpeta di telapaktanganku.

semarang. mei 2008



Timur Sinar Suprabana:


kota morgana


:hamidah!

hai, hamidah!


menjelang senja.

setidaknya kusangka bahwa aku sedang sudah tiba di menjelang senja.

mendadak engkau, perempuan yang meruang di sela jeda degab jantungku,

membayang ke segala mana aku mengarahkan pandang mataku.

maka tiap penjuru menjadi kamu. menjadi rindu.

menjadi candu yang bikin ungu warna jiwaku yang menyayangimu.


aku sedang di pantai kotamu. mengajak angin berbincang mengenaimu,

kerna tak ada orang yang mau bercakap tentang harapan

dan pemikiran yang berkilat tajam tiap kamu

berbicara soal perlunya orang memandang orang

harus sebagai sesama insan. tak terkecuali bagaimana seharusnya lelaki

bersikap terhadap perempuan.

insan tak mengenal aniaya dan tipudaya,” katamu.

insan selalu menemu jalan untuk mewujudkan harapan.

kerna insan senantiasa bisa menaklukkan rasa putus asa.”


ah, angin datang pergi pulang. laut di sesudah pantai sedang tenang.

permukaannya yang datar justru terasa menggelisahkan.

dalam rasa bimbang yang tak lagi menggelombang

aku melihat aniaya dan tipu daya jadi wajah hampir segala.

bahkan sekalipun dalam angan

tak lagi ada bayang jalan untuk mewujudkan harapan.

di permukaan laut yang tenang aku juga menyaksikan

bagaimana mula rasa putus asa

beranakpinak dan merajalela. jadi borok dan koreng,

nyemumuh dan mlonyoh mensekujuri badan, tubuh dan diri.


aku tersedu. mengapa tak lagi ada Kalbu di tiap mata yang memandangmu?

tegal. mei 2008.

KUTULIS DENGAN WAJAH MERAHPADAM




Timur Sinar Suprabana:


s a j a k m e n g e j a k a h a n a n

negeri macam apa ini, Saudara?
hidup magreg, mandek dan badeg
padahal bahkan cuaca
selalu dengan cepat berubah rupa
dan angin santer masih senantiasa
mengekas dari penjuru segala.
“senja!
senja!” ratap orang-orang paruh baya
dalam koor genit tak berjiwa
“mengapa di mana-mana
segala terasa tiba-tiba menjadi senja?
padahal kami belum puas meremaja!”
aku termangu
seperti tengu di sela susu perempuan berputing ungu
dan celakanya dumadakan aku kehilangan segala ragu
untuk juga ikut menyusu dan gila-gilaan nyedot candu.
ssssshhhs
mengapung
sssssssshhhhss
melayang
sssssssssshhhhhsss
bergoyang
ssshhhss
beriang
ngikut berayun dengan gelombang dalam angan!
yoooooiiiiiuuuuu
aku mengapung, melayang, bergoyang, beriang
nggliyeng bukan oleh ciu, kti, ajong, congyang,
red label, chivas regal atau tequila campur putauw chie chiew
yang belakangan sering kuglegek
bareng beno siang pamungkas, sunu andhy purwanto,
agus hermanto dan denny tulaseket
kuglegek di room tujuh sambil ndengerin didit cordiaz
mendendangkan lagu-lagu bob marley sembari berjingkrak sexy.

yoooooiiiiuuuuuu
aku dan saudara-saudaraku ingin mabok,
tapi tak bisa
sebab tak ada nginuman bermerek indonesia!
karena nginum dan nginum terus serta terus nginum
namun tak mabok-mabok
a k u m a r a h !

negeri macam apa ini, Saudara?
jelaskan padaku: negeri macam apa ini?
jika presidennya menangis ketika menonton film ayat-ayat cinta
tapi saat berkunjung ke lokasi super luberan lumpur lapindo
ia, presiden kita itu,
unjal ambegkanpun tidak!
jelaskan kepadaku: negeri macam apa ini?
jika ketika banjir, tanah longsor dan bahkan angin ribut bercampur petir menjadi gendruwo di tiap tlatah tumpah darah
ia, presiden kita itu,
ribet upyek nyanyi-nyanyi bikin album lagu
sing ketika dirilis jebul ora payu.
negeri macam apa ini, Saudara?
jelaskan kepadaku: negeri macam apa ini?
ketika jumlah pengangguran terus bertambah
dan jumlah keluarga miskin makin banyak,
ketika harga-harga tak henti naik berlipat
dan bahkan tahu serta tempe tak lagi bisa terbeli oleh rakyat
wakil presiden dari presiden kita itu
sembari cengengesan memapar angka-angka
yang dia kata patut diyakini sebagai indikator
bahwa keadaan rakyat, keadaan masyarakat dan bangsa ini
dari waktu ke waktu terus membaik. “ke depan
akan terus kita tingkatkan. ya to.., ya to...?” katanya
melalui konperensi pers tiap seusai jum’atan.

aku tak tahu.
aku yang picek
ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang buta?
aku tak tahu.
aku yang terlanjur tak bisa percaya angka-angka
ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang sedang menebar dusta?
sebab angka-angka tak pernah membuktikan apa-apa
karena yang kutahu adalah bahwa dari hari ke hari
makin banyak orang yang bisa makan hanya di dalam mimpinya.
itulah sebab mengapa busung lapar, buruk gisi, buyuten
dan ngantukan bertebaran di berbagai penjuru negeri.
menyerang bayi, balita, anak-anak, remaja, orang tua-orang tua,
dan perempuan ataupun laki-laki. bahkan juga menyerang waria!

marah dan sedih, sedih dan marah,
bukan karena nginum dan terus nginum tapi tak kunjung mabok,
bukan karena frustrasi atau apa lagi merasa tak berdaya,
bukan karena bertahun menggapai sia-sia,
aku kluyuran, limbung, gluyuran dan bentoyongan
dari satu wajah ke lain tanah, dari satu hari ke lain hati.

aku berpikir, bahkan berharap, akulah yang kirik.
sedangkan negeri ini dan rakyatnya dalam keadaan baik-baik.
tapi apanya yang dalam keadaan baik-baik?
di bawah cahya terik yang sungguh terang dan benderang:
aku menyaksikan seorang perempuan mencuri beras yang sedang ditanak.
aku menyaksikan seorang anak kelas empat esde gantung diri
di bawah pohon jambu air di belakang rumah dengan kawat
yang semula dipakai ibunya sebagai tali jemuran.
aku menyaksikan remaja dibakar massa karena ketahuan
mencuri kotak amal di sebuah masjid.
aku menyaksikan seorang lelaki membongkar makam neneknya dan menyantabnya sambil merapal mantra.
aku menyaksikan guru ngaji berulang melakukan pemerkosaan.
aku menyaksikan putra altar ditunggingkan di samping pastoran
dan disodomi sampai kesurupan.
aku menyaksikan seorang ibu membunuh tiga putranya
dan ibu yang lain lagi meracun mati lima anaknya.
aku menyaksikan seorang ayah bertahun-tahun menggauli
anak perempuan kandungnya.
aku menyaksikan seorang kakek menghamili cucunya sendiri.
aku menyaksikan seorang anak membunuh ibu, ayah dan paman
serta kakeknya sambil tak henti menyanyikan lagu indonesia raya!

aku menyaksikan segerombolan orang menyembelih perempuan hamil,
membongkar perutnya, membetot janin di dalamnya,
mencengkeram salah satu kakinya, menjungkirkannya
dan mengacung-acungkannya ke udara sembari berkali berteriak, “merdeka! merdeka! merdeka! ini tanah merdeka! tapi bukan untukmu!”

maka aku kembali bertanya:
negeri macam apa ini, Saudara?
tapi pertanyaan-pertanyaanku dijawab cuma oleh jegukan asu.
bahkan pertanyaan-pertanyaanku dijawab oleh kahanan yang memaksaku
untuk makin lebih menyaksikan tokbring-tokbring prahara kemanusiaan,
yang dari waktu ke waktu melumpuhkan nilai dan bentuk keinsananku,
dan mungkin juga menghancurkan makna dan wujud kamanungsanmu.

negeri macam apa ini, Saudara?
jika dalam tiap tiga bulan ada luar biasa lebih banyak jumlah orang
yang kehilangan mata pencaharian
dibanding dengan yang mendapat pekerjaan.
jika dalam tiap tiga bulan dibanding dengan tiga bulan sebelumnya
selalu saja ada penambahan jumlah anak-anak putus sekolah,
selalu saja ada penambahan jumlah kematian ibu saat melahirkan,
selalu saja ada penambahan jumlah kematian bayi saat dilahirkan,
selalu saja ada penambahan jumlah kematian kecelakaan di jalan raya,
selalu saja ada penambahan jumlah kematian karena pembunuhan,
selalu saja ada penambahan jumlah kematian karena perampokan,
dan bahkan selalu saja ada penambahan jumlah kesurupan massal
yang dialami pelajar sekolah, buruh pabrik dan kuli bangunan!

aku heran, mengapa para birokrat, anggota mpr, anggota dpr, politisi
dan para penegak hukum tak pernah kesurupan
atau apa lagi sampai kesurupan massal?
apakah karena sebagian besar di antara mereka telah bikin
perjanjian dengan setan, jin dan demit bekasakan?
aku tak tahu, Saudara.
pernah hampir ada yang menerangkan kepadaku, tetapi belum lengkap sepatah kata dia ucap, aku mendengar geger genjik keributan
menggema dari kejauhan. maka aku berlari ke sana.

aku melihat segerombolan orang berpakaian krembyah-krembyah
warna putih terang hampir menyilaukan membawa pentungan,
galah, linggis dan bahkan parang.
dengan wajah beringas dan tandang banteng ketaton mereka merazia
dan mengobrak-abrik rumah bilyard, kedai minuman, kafe,
rumah makan cina dan restoran jepang.
aku menyaksikan bom meledak di yang semula tak pernah kubayangkan
bakal diseraki tebaran serpihan daging dan pecahan tulang
yang mengapung di permukaan genangan darah.
ini terjadi tak cuma sekali, melainkan berseri
seperti cerita silat ko phing hoo atau sh mintardja dan gan kl
yang dulu biasa kubaca di bawah wit pakel.

aku tak tahu mengapa,
aku tak faham bagaimana mulanya,
aku tak mengerti pahala macam apa yang diharap bakal diperolehnya
sampai ada yang membakar masjid, gereja dan juga menggusur vihara
atau bersikeras menganggap puranya lebih keramat dibanding pura lainnya.

aku geleng-geleng bingung dan ngeri menyaksikan akal sehat
hengkang dari banyak batok kepala.
aku melihat kalbu terbakar di rongga dada.
aku tak tahu mengapa
aku tak faham bagaimana mulanya
aku tak mengerti sorga macam apa yang disangka bakal menjadi miliknya
sampai makin banyak saja kelompok yang mengancam
kelompok lainnya sambil menyerukan pembantaian
dan bahkan meneriakkan ajakan melakukan pembasmian.
seolah bahwa yang bukan kelompoknya adalah wirog
atau hama di tengah kehidupan dan oleh karenanya harus dibinasakan.

katakan padaku, Saudara.
katakan padaku.
di negeri macam bagaimana kita sedang berada
di mana-mana, di segala, kesumpegkan merajalela.
maksud baik kehilangan gorong-gorong pelepasannya.
senyum dan pandang mata bisa jadi mula nyala sengketa.
orang-orang menjelma jadi mata dadu,
sebagian lain berubah jadi batang-batang ciamsi,
reog, jaran kepang dan barongsai meniup uplik, teplok dan lampion.
pikiran kehilangan pemikiran.
rasa kehilangan perasaan.
tindakan tak berpijak pada aturan.
dan aturan bersliweran tanpa pengawasan.
kasunyatan dipedaya mitos-mitos yang melemahkan daya juang.

aku mendengar anak-anak esde dengan fasih bernyanyi, “nenek moyangku orang pelaut...” sambil membusungkan dada. tetapi aku melihat
laut negeri ini dijarah kapal-kapal asing raksasa penangkap ikan
sementara nelayan-nelayan di jepara dan tegal serta di daerah-daerah lain tak melaut. mereka tak melaut bukan lantaran gigrik karena cuaca buruk, tetapi karena tak mampu membeli bbm untuk motor tempelnya.
aku mendengar dalam wayang kulit medar crito mengenai betapa
loh jinawinya negeri ini. tetapi aku melihat para petani tak bisa tandur lantaran bibit langkak, dan mereka yang bisa tandur tak bisa beli pupuk karena harga pupuk jauh lebih tinggi dibanding harga jual gabah.
aku mendengar para pasangan calon bupati, calon walikota, calon gubernur dan bahkan dulu juga para calon presiden menjanjikan pendidikan gratis.
tetapi aku melihat ribuan bangunan sekolah reot dan bahkan akhirnya ratusan diantaranya roboh bukan karena angin puting beliung.

katakan padaku, Saudara.
katakan padaku. negeri macam apa yang rakyatnya merindukan ratu adil
tapi pemimpin-pemimpinnya menggadaikan dampar kencono
ke orang-orang monco.
membiarkan hutan diplontosi, sungai-sungai dan udara dicemari,
gunung emas dikeruk tuntas dan lautan dikuras!

katakan padaku, Saudara
katakan padaku, Saudari
katakan padaku, Kawan

negeri macam apa?
nestapa macam bagaimana yang tengah dikandungnya?


semarang, mei 2008.
catatan 100 tahun kebangkitan nasional.